Insumatra Photo Festival

The very first Indonesian documentary photo festival held in West Sumatra

[dropcap style=”no-background”] D [/dropcap]ua ratus tahun sebelum Colombus memulai ekpedisinya, Abu Abdallah Muhammad ibnu Abdallah ibnu Muhammad ibnu Ibrahim al-Lawati memulai perjalanan yang akan dicatat sebagai salah satu pengembaraan terbesar sepanjang sejarah. Niat awalnya hendak naik haji ke Mekkah dari kampungnya di Tangier, Maroko. Namun nasib membawa lelaki yang kelak dikenal sebagai Ibnu Batuta itu berjalan selama hampir 30 tahun, melewati 44 negara, dan sempat singgah di pucuk Sumatra dalam rutenya menuju Cina.

Battuta tidak membawa kamera, dia merekam perjalanannya dalam jurnal. Narasi dalam catatannya menggugah petualang-petualang baru. Berabad kemudian setelah serangkaian piranti optik bisa digunakan untuk mengabadikan gambar, dorongan untuk menangkap imagi lebih detil tentang perjalanan Battuta muncul ke permukaan. Adalah fotografer Amerika, James L Stanfield yang menikam jejak Battuta, sebuah upaya merekam kembali perjalanan “Pangeran Pengembara” ke dalam narasi visual untuk bisa melihat kisahnya dengan lebih utuh.

Dari fungsi alamiahnya sebagai perangkat -to document- fotografi telah tumbuh mengikuti kebutuhan kebudayaan visual manusia. Fotografi kemudian berkembang menjadi sebuah bahasa yang juga digunakan untuk bertutur, berargumen, dan menyebar wacana. Dalam perkembangan itu pula, fotografer, tidak lagi dilihat sebagai tukang jepret semata, namun ia telah mengambil posisi sebagai storyteller, pencerita, atau dalam bahasa yang lebih dekat bisa disebut juga sebagai Tukang Kaba.

Insumatra Photo Festival, festival fotografi dokumenter yang telah dihelat di Padang selama dua minggu agaknya juga berangkat dari pikiran ini. Dengan memilih dokumenter secara spesifik sebagai genre festival, Insumatra mengembalikan fotografi kepada fungsi alamiahnya, sekaligus merespon perkembangan fotografi hari ini. Pada festival yang digelar dari 22 Februari hingga 9 Maret ini sebanyak 16 cerita foto dari 17 fotografer Indonesia dipajang di gedung-gedung tua dan ruang terbuka di kawasan Kelenteng Kota Tua Padang. Selain pameran, sejumlah screening, workshop, diskusi dan seminar juga digelar di beberapa tempat. menjadikan Insumatra sebagai festival foto dokumenter pertama di Indonesia.Jika menoleh ke belakang, Indonesia pernah punya sejumlah iven fotografi yang cukup bergengsi. Pada 2015 ada Festival Foto Surabaya yang sempat dua kali digelar. Untuk gelaran berskala Internasional pemerintah pernah mendorong The Jakarta International Photo Summit. Meski tidak dalam format festival, ajang ini bertahan hingga penyelenggaraan ketiga pada 2014. Muhammad Fadli, Putu Sayoga, Ronny Zakaria, dan Yoppy Pieter merupakan sejumlah fotografer pernah mengikuti ajang internasional ini.

Sejumlah festival pada tingkat kampus atau pun profesional pernah muncul diberbagai daera di Indonesia. Format dan skala penyelenggaraannya pun beragam, namun sayangnya tidak ada yang berumur panjang. Festival foto teranyar di Indonesia adalah Festival Foto Kompas yang telah digelar dua tahun secara beruntun. Unpublished pada 2017 dan Sportscapes tahun lalu yang fokusnya tentu pada fotografi jurnalistik surat kabar tersebut. Baru tahun ini pegiat fotografi di Jakarta tengah menggodok Jakarta Internasional Photo Festival (JIPFest). Sebuah festival dengan jangkauan global dan menampung tiga genre penting dalam fotografi: dokumenter, jurnalistik dan seni.

Untuk urusan festival fotografi, Indonesia bisa dibilang jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Nepal misalnya, telah menghelat festival fotografi internasional selama tiga kali. Mengusung nama Photo Khatmandu, festival foto ini digelar pada 2015, 2016 dan berubah format menjadi ajang dua tahunan sejak 2018. Negara tetangga Malaysia telah menggelar Obscura Festival of Photography di Penang sebanyak tujuh kali dan terus berlangsung menjadi festival tahunan. Kamboja memiliki Angkor Photo Festival yang berbasis di Siem Reap. Festival ini telah dibangun sejak 2005 dan tahun lalu, Angkor memasuki tahunnya yang ke-14. Satu kesamaan yang bisa ditarik adalah festival digelar sebagai upaya pengembangan fotografi secara profesional dan merespon isu-isu penting dalam masyarakat dunia.

Di tengah ketertinggalan inilah Insumatra mengambil tempat dan memilih dokumenter sebagai nafas festivalnya. Tema “Sekitar Kita” dipilih sebagai pengikat karya-karya yang disaring dalam proses kurasi. Sari Asih dan Kurniadi Widodo dipercaya sebagai kurator. Asih merupakan pegiat fotografi yang terlibat dalam pameran foto dalam dan luar negeri. Kurniadi merupakan fotografer lepas yang aktif dalam gerakan edukasi fotografi. Dari seratusan lebih karya yang dikirimkan oleh fotografer secara nasional, kedua kurator menyaring 16 foto cerita. Hasil yang menurut kurator cukup mengejutkan. Lebih dari setengah fotografer berasal dari Sumatra. Dari jumlah itu lima orang merupakan fotografer yang berbasis di Sumatera Barat.

Agung Kuncahya B- The Last Room, Aji Susanto Anom-They Come for the Flower, Aleks Masri- Keseharian Anak Suku Anak Dalam, Andri Ginting-Menanti Kebebasan di Tanah yang Sesak, Devie Koerniawan- Stiker Usang Para Kandidat,, Fahreza Ahmad- Menyelamatkan Paus Terdampar. Fajri Azhari- Nomophobia, Inesa Usman, Daily Thought, Muhammad Arif-Bertahan dan Mati Perlahan, Muhammad Fadhil Indra-Menyusun Teman. Muhammad Ridwan, Panyik & Manek: The Last War, Putu Sayoga-Ingatan-ingatan dan Randy Azhari-Keputusan dan Masa lalu, Raudathul Jumala & Riska Munawarah- Catatan Mafiasantri, Sefta Andrea Hutauruk-Di Jou Au Mulak, dan Zulfikar Iqbal-We Miss Nature. Oleh kurator seluruh karya ini dapat diidentifikasi ke dalam beberapa kategori yakni mistisme dan identitas, merespon modernitas, dan memori dan sentimentalitas. Sebuah pembacaan yang cukup ramai untuk 16 karya, sekaligus bisa menjadi peta fotografi dokumenter Indonesia. Dari karya yang dihadirkan ini bisa ditelisik variasi isu dan kecenderungan bentuk visual yang dipilih oleh fotografer.

Seluruh cerita ini menawarkan pendekatan fotografi yang berbeda dalam menafsir tema Sekitar Kita. Setiap cerita dipresentasikan sedemikian rupa untuk menyampaikan gagasannya dalam bentuk visual. Keragaman gagasan ini yang menjadi poin penting bagi kurator, karena disitulah peran fotografer memberi argumen pada karyanya. Keseharian Anak Suku Anak Dalam karya Aleks Masri misalnya, dipajang di sebuah gedung penuh semak belukar. Ini menghidupkan imaji hutan di dalam cerita yang dibangun Aleks. Karya Andri Ginting yang digantung pada pagar besi, seolah memberi batas antara yang terkurung dan yang bebas. Setiap karya diupayakan merespon lokasi tempatnya berada, sebagian untuk memperkuat estetika, sebagian lagi untuk mempertegas narasi visualnya.

Insumatra membawa masyarakat bersentuhan dengan isu-isu yang menjadi perhatian fotografer. Mulai dari keragaman kultural hingga perihal yang paling personal sekalipun. Seorang pengunjung terkenang kakek dan neneknya saat melihat Panyik & Manek: The Last War karya Ridwan, sekumpulan remaja tertawa geli melihat serangkaian foto dalam Catatan Mafiasantri. Seorang lagi, menggerutu kesal saat tak kunjung paham apa yang ingin diceritakan foto sepotong kepala ikan dan sebatang pensil. Akan selalu ada dinding batas yang terhampar ketika karya seni dihadapkan pada khalayak umum. David MacDaugall dalam Visual Antrophology mengatakan, satu persoalan pada pembacaan visual adalah, mereka seolah menunjukkan segalanya, namun selalu ada yang tersembunyi. Tapi tetap saja karya yang baik meninggalkan pintu-pintu bagi pembacanya.

Namun tema Sekitar Kita ini baru dieksplorasi dari satu sisi saja. Jika dilihat secara menyeluruh belum ada mata program pada festival ini yang menyentuh tema yang dipilihnya sendiri. Belum ada konten yang secara spesifik merespon Padang, Kota Tua, atau masyarakat di dalamnya yang menjadi tempat tumbuh festival. Jika pun ada yang bisa dikait-hubungkan dengan tema ini, masih bersifat tempelan atau datang belakangan. Eksplorasi tema ini bisa menjadi salah satu potensi untuk mengembangkan festival di tahun-tahun mendatang.

Selain pameran, Insumatra Photo Festival juga menggelar serangkaian workshop. Mulai dari workshop khusus pelajar, hingga workshop membangun proyek foto personal. Dari awal dihelat festival ini memang menaruh atensi pada edukasi fotografi. Sejak September tahun lalu melalui program prafestival, tim Insumatra mendatangi beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat untuk membuka ruang diskusi fotografi, membangun kepercayaan diri fotografer untuk mempresentasikan karya mereka, sekaligus merespon karya fotografer lain.

Semangat edukasi ini terus dibangun dalam festival. Dalam sebuah pelatihan tiga hari bertajuk Fotoria sejumlah pelajar diajak untuk lebih kritis melihat lingkungan mereka dan menampilkan apa yang mereka anggap penting melalui fotografi. Sejumlah karya dikurasi khusus oleh beberapa kurator untuk menampilkan tema tertentu. Yoppy Pieter menampilkan karya sejumlah fotografer Indonesia yang mengusung isu perubahan. Muhammad Fadli menampilkan sederet karya fotografer muda di dunia. Tujuannya untuk menghadirkan ragam gagasan dan pilihan bentuk visual yang tengah berkembang yang bisa dibaca sebagai materi edukasi . Selain itu sejumlah narasumber kompeten didatangkan untuk bicara pada diskusi terbuka terkait persoalan fotografi.

Hanya saja ruang-ruang edukasi alternatif yang dihelat ini sepi peminat. Bisa saja karena festival ini tidak lahir dari kebutuhan masyarakat visualnya. Bukan fakta mengejutkan sebenarnya jika memperhatikan iklim fotografi di Sumatra Barat, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Beberapa kali diskusi fotografi hanya dihadiri segenlintir orang saja. Ini juga terjadi pada festival ini. Forum-forum diskusi yang digelar hanya diramaikan oleh orang-orang yang itu-itu juga, membuat ruang diskusi mirip pertemuan sekte-sekte rahasia. Kabar baiknya, persoalan ini tidak hanya terjadi di Sumatra Barat saja.

Kondisi ini membuat kerja membangun kesadaran intelektual dalam fotografi menjadi urgensi yang harus dikerjakan bersama, selain membangun festival yang baik tentunya. Mengembangkan iklim fotografi yang kritis harus segera dimulai dan melibatkan semua pihak yang saling terhubung-kait. Tidak hanya bagi pelaku fotografi itu sendiri namun juga dalam masyarakat di mana fotografi bisa bermanfaat. Bayangkan, betapa gugunya seorang seniman visual, jika menganggap ruang publik sebagai galeri miliknya.

Setidaknya sebagai langkah awal, Insumatra telah menawarkan dua poin berguna untuk fotografi Indonesia. Yang pertama perhatian khusus pada foto dokumenter sebagai salah satu jalan untuk menyampaikan gagasan. Yang kedua, pengembangan edukasi fotografi baik dalam penciptaan karya maupun dalam merespon karya lain.

Fotografer dituntut untuk memiliki intelektual yang baik sehingga suaranya bisa didengar dengan jelas. Jika tidak, tentulah ujaran sinis Albert Einstein yang pernah menyebut fotografer sebagai lichtaffen ,monyet-monyet yang gila cahaya, itu jadi benar belaka.

Selain dua poin tersebut, masih terlalu awal untuk membaca wacana yang ingin disuarakan festival ini. Namun kebaradaannya menjadi penting. Insumatra menjadi geliat yang datang dari pinggir. Sebuah peta baru di tengah perkembangan fotografi nusantara. Musuh besarnya hanya satu yakni inkonsistensi.

Tags: